Oleh Odios
Arminto
Humor itu
energi budaya. Keberadaannya dirasakan umat manusia di seluruh jagad raya. Ia
menyelinap, mengendap-endap dan menyatu ke dalam urat nadi tradisi dan
kehidupan manusia. Terekspresi dalam kehidupan sehari-hari. Dirasakan
manfaatnya oleh kita semua.
Dalam
ungkapan yang lain, humor menembus fungsi ke seluruh bidang yang mau
mengakomodasinya. Sehingga tak pelak, ia dapat dikaji dengan pendekatan
multidisiplin ilmu dan multiprofesi.
Apa yang tak
bisa diwacanakan humor? Dari filsafat, budaya, masalah sosial, politik,
ekonomi, hingga bahkan agama. Hanya saja, humor yang asasinya bersifat netral
dan tak berpretensi, dengan kepintaran manusia, ia dapat dijadikani senjata untuk
kepentingan-kepentingan pragmatis sempit.
Fitrahnya,
humor itu tak mengenal justifikasi SALAH dan BENAR, karena humor memang tidak
perlu pembuktian. Hal terpenting yang diapresiasi dalam humor adalah LUCU dan
TIDAK LUCU. Di situlah martabat dan nilai
“ideologi” humor dikaji, diapresiasi dan diperdebatkan; namun karena
nilai-nilai sosial masyarakat berbeda-beda (etika), maka gesekan-gesekan
persepsi bisa terjadi, sehingga estetika dasar harus mengalah pada dominasi
etika.
Namanya
humor, atau katakanlah atas nama humor, semua lalu dapat menjadi bahan humor
(lelucon) itu sendiri. Dalam konteks inilah pentingnya humor dikaji dan
diteliti. Mengapa humor di suatu tempat sangat diapresiasi bahkan dipuji, di
tempat lain justru dicaci-maki. Mengapa orang terntentu merespon sebuah humor
sambil ketawa riang gembira, sementara bagi orang lain justru membuatnya sangat
tersinggung dan kemudian marah habis-habisan alias kebakaran jenggot.
Dalam
konteks politik, apa yang ditulis Darminto M Sudarmo (dms), praktisi dan
pengamat humor, dalam bukunya Humor untuk
Orang-orang Terpelajar, ia menulis.
Humor Politik
Park Chung
Hee, 1917-1979, bekas pemimpin diktator Korea Selatan, pernah mengatakan,
“Seharusnya tidak ada sensor untuk humor; karena humor itu, ibarat perlawanan,
sudah upaya paling akhir.”
Ketika kasus
Watergate merebak di Amerika Serikat,
karikatur tentang Presiden Nixon muncul di hampir semua koran Amerika. Ada
sebuah koran yang menggambarkan Nixon tampak sebagai tertuduh, namun di sisi
lain, hakim, para juri, pembela, penuntut dan pengunjung sidang, semua berwajah
dan bertampang Nixon. Begitu juga ketika Clinton tersenggol kasus yang
mencemarkan nama baiknya; koran Amerika bersikap tak kalah edan-edanan.
Tetapi yang menarik, baik Nixon maupun Clinton
sama-sama membuktikan bahwa mereka tidak pernah ribut soal dirinya yang jadi
bulan-bulan humoris Amerika. Tak kurang lelucon yang benar-benar “gila” juga
meramaikan udara segar negeri yang mengaku paling bisa memberikan jaminan bagi
rakyatnya untuk berdemokrasi. Bagi demokrat sejati, bereaksi marah terhadap
humor atau lelucon sama halnya bikin malu dirinya sendiri. Kriteria seseorang
bisa disebut demokrat atau tidak, salah satunya bisa diukur dari mampu tidaknya
ia menertawakan kekurangan, ketololan, kesialan dan ketidakjujuran dirinya
sendiri.
Bukan
rahasia lagi, humor selalu memposisikan diri pada semangat menelanjangi
keagungan artifisial, keagungan yang pura-pura. Segala yang tidak jujur, yang
dibikin-bikin, yang membodohi orang, bakal dibuka dan orang lain langsung
tertawa; sebuah reaksi yang wajar dan manusiawi. Tetapi humor yang bertanggung
jawab juga punya kesembodoan; ia tidak tergelincir pada fitnah dan penyerangan
membabi buta yang biasanya mengabaikan estetika dan “akurasi”.
Untuk
menghormati salah seorang yang pernah sangat populer dan menggegerkan di bumi
Pertiwi tercinta ini, saya selaku penghimpun lelucon yang pernah beredar sangat
santer di masyarakat memohon izin dan perkenanan kepada Paduka Yang Mulia Bapak
“Pembangunan” kita yang tiada lain daripada Mister Soeharto, agar kiranya anak
cucu daripada kita sekalian memperoleh intisari pelajaran daripada yang beliau
telah pernah perbuat kepada negeri daripada yang kita cintai ini. Agar kiranya
mereka, anak cucu daripada kita, bisa mengambil pelajaran berharga, kalau ada
pelajarannya, dan menjadikan semua yang terjadi biarlah terjadi. Tiada dendam,
tiada stigma ini-stigma itu, tiada pamirh demi keuntungan politik dan lain-lain
daripada rakyat dan bangsa ini. Soeharto is
Soeharto; however, he is a very brilliant
political actor that we have ever seen.
Mengapa ini perlu kita ketengahkan?
Karena sebagian di antara Lelucon daripada Presiden etc! ini juga mengangkat
masalah-masalah yang dikaitkan dengan nama daripada beliau. Selain daripada
itu, buku ini juga memuat daripada lelucon presiden dari benua lain; pokoknya
cukup bervariasi dan yang pasti, ramai!
Akhirnya, (demikian
dms) sebagai kolektor lelucon, saya berharap Anda memperoleh sesuatu yang
berguna; minimal untuk jadi bahan guyonan atau mungkin renungan; bagaimanapun
humor adalah humor. Ia punya konteks realitas dan akurasi tersendiri, yaitu
realitas dan akurasi humor. Bukan lainnya!
Studi Humor di Indonesia
Kembali
tentang studi humor. Ada anak bangsa ini, Danny Septriadi namanya, yang bermula
dari minat dan kebutuhannya sendiri, ia mengoleksi satu dua buku baik terbitan
dalam negeri maupun luar negeri. Tahun demi tahun ia menambah koleksinya. Membaca
dan mencermati isinya dengan lahap, tak terasa dalam bilangan sekian tahun,
koleksinya sudah meledak sekitar 700-an buku dan media lain (CD, DVD) serta
produk audiovisual lainnya. Menurut penuturannya, ke depan besar kemungkinan
koleksinya bisa bertambah hingga 1000-an, bila buku-buku baru juga hadir dan
menyemarakkan wacana perhumoran nasional/internasional.
Pertanyaannya, untuk apa koleksi sebanyak itu? Apakah cukup
ia hanya bermanfaat bagi Danny seorang? Ternyata tidak. Danny berharap,
masyarakat luas, baik dari mahasiswa, peneliti, peminat multidisiplin ilmu,
multiprofesi, dapat memetik manfaat dari buku itu.
Untuk
memberikan gambaran secara menyeluruh, ia bersama Darminto M Sudarmo dan Seno
Gumira Ajidarma (tiga komisioner sableng) membuat perpustakaan maya atau rak
buku random yang bisa diakses oleh masyarakat luas di ihik3.com. Ihik itu akronim dari Studi Humor Indonesia Kini. Mengapa ada
angka 3 di belakang kata ihik.
Pertama,
orang ketawa setidaknya berbunyi: ihik-ihik-ihik. Kalau ketawa hanya berbunyi: ihik, bisa jadi ia
bukan sedang ketawa, tapi justru sedang tersedak atau ada tulang ayam nyangkut di
tenggorokannya. Kedua, angka 3 itu sebagai tanda ada tiga orang “sableng” yang
nekad membuat kawasan studi sebuah ilmu penting tapi dinafikan atau belum
dilirik oleh anak bangsa sendiri, jadi wajar kalau mereka dikatakan seperti
orang yang kurang kerjaan saja. Tapi mereka berpendapat, sekarang studi humor
memang belum nge-trend, tapi suatu
saat nanti kalau masyarakat sudah tahu ada wahana untuk itu, pastilah everything will be going…. rush!
Bangsa hebat
adalah bangsa yang memiliki kecerdasan dan rasa humor yang baik.
No comments:
Post a Comment