Animasi Kresna |
SALAH satu program acara “Mahabharata” yang mengangkat tema wayang di sebuah stasiun TV terlihat sukses dan gegap gembita. Sinema produk India yang sedang tayang kali ini memang memiliki sisi pandang berbeda dibandingkan dengan produk serupa berjudul sama yang pernah tayang di TPI, beberapa tahun lalu.
Tata music dan teknik editing yang cerdik, mampu menampilkan daya tarik pernarasi dan dialog. Bukan hanya itu, pendekatan masalah yang lebih filosofis dengan ungkapan kata-kata yang agak popular telah mampu menjerat ketertarikan pemirsa episode demi episode.
Tampak sekali bahwa skenario digarap dengan sangat serius, sehingga kedalaman materi dapat dicapai sekaligus pula daya tarik persoalan dalam kisah pewayangan yang kompleks ditampilkan secara memikat dan menjerat rasa ingin tahu pemirsa.
Fakta ini menunjukkan bahwa persoalan dalam dunia pewayangan, baik versi India maupun versi Indonesia, terbukti tak pernah lapuk dan kehilangan popularitasnya. Nilai-nilai tentang kejahatan dan kebaikan, kejujuran dan keculasan, ambisi, keserakahan, keutamaan, keluhuran budi, tipu daya, strategi, bahkan politik merupakan gambaran yang akan tetap relevan bagi masyarakat sepanjang zaman.
Lebih-lebih ketika peta politik nasional kebangsaan kita sedang diuji, khususnya yang sedang dipertontonkan oleh insan parlemen akhir-akhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional (DPRD DKI), tontonan televisi yang mampu menampilkan aktualisasi nilai perseteruan itu, makin terasa dekat bagi masyarakat penikmat. Begitulah dinamika tentang power dan kekuasaan, dinamika politik yang selain membuat ngilu hati, namun teta saja menggelitik dan menarik perhatian.
Wayang, memang sebelumnya dikenal dari versi India, namun jangan dilupakan, wayang Indonesia telah memperoleh penghargaan Unesco dari aspek intangible (non-benda).Ini artinya telah terjadi proses dari eksplorasi hingga mencapai puncak pencapaian stilisasi. Tak aneh dalam suatu kesempatan temu dalang nasional di TMII, di zaman Orde Baru, Jop Ave, memberi gambaran apa bedanya wayang versi India dan Indonesia. Kalau di India, meski pemilik versi tertua, di negeri ini kesenian wayang masih berkutat di kelas TK (Paud), sementara wayang Indonesia telah berkembang dan maju sedemikian rupa, sehingga ibarat kata sudah berada di kelas perguruan tinggi.
Tak cukup kita berleha-leha dalam kebanggaan karya warisan nenek moyang. Dalam karya sinema wayang, ternyata India harus diakui relative lebih maju dan berdaya saing. Bahkan pada karya animasinya (misal Kresna). Indonesia harus melihat itu sebagai tantangan serius.
Sinema Wayang Kulit
Ini mungkin peluang menarik, sejujurnya, wayang kulit tak pernah kehilangan pamor. Apalagi surut apresiasi. Kalau anggapan itu pernah ada, boleh saja. Tapi mana data akurasinya? Siapa atau lembaga mana yang pernah menelitinya? Di dalam komunitas dan skala geografi yang mana penelitian itu pernah dilakukan?
Sederhananya, dari realitas empirik yang bisa dipantau, wayang kulit tetap punya wibawa dan pamor. Setidaknya dari gelombang apresian baru dan dari kalangan muda.
Di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Tegal bahkan Bogor, kota yang relatif “didominasi” budaya Sunda, setiap ada pertunjukkan wayang kulit, selalu dibanjiri pengunjung. Mereka rela datang berduyun-duyun, bergelombang, bahkan bagai air bah, kalau kebetulan Ki Dalang yang main pujaan mereka. Mungkin tak sedramatis dangdut atau musik rock, tetapi jumlah itu lumayan mengagetkan.
Wayang kulit yang dibicarakan di sini, tergolong jenis yang sangat adaptif dan akomodatif. Oleh karena itu, forum ini tak memperuncing segi “ideal” antara klasik dan “kontemporer”. Selayaknya, bila yang berbeda itu diberi hak hidup. Wayang kulit dengan pola dan Ki Dalang jenis klasik, perlu dilestarikan begitu juga jenis “ugal-ugalan”’ jenis “mbeling”, maupun jenis eksploratif seperti yang diperagakan Ki Hadi Sujiwo Tejo di Jakarta, kesemuanya perlu diberi hak berkembang dan mengekspresikan diri.
Wayang kulit klasik (konvensional) tetap memiliki pesona dan keindahan yang sudah teruji oleh zaman. Namun itu bukan berarti yang ugal-ugalan, yang mbeling dan yang eksploratif tak boleh muncul. Masing-masing punya disiplin wilayah dan paugeran. Tak mungkin mempertentangkan nilai di antara mereka, hanya karena kesemuanya menggunakan terminologi wayang. Klasik dengan establisme dan pakemnya, perlu dihormati sesuai kaidah-kaidah yang ada. Dan lainnya, yang gelisah dengan pembaruan dan penawaran, tetap perlu diberi ruang untuk berekspresi dan berkreasi sesuai dengan “kredo”-nya.
Apakah itu kredo almarhum Ki Nartosabdo, Ki Anom, Ki Timbul, Ki Manteb, Ki Enthus, Ki Purbo Asmoro dan Ki Dalang lain yang tak bisa disebut satu persatu. Tidak penting benar, tetapi masing-masing memiliki visi dan persepsi dalam menerjemahkan lakon yang disediakan dalam Ramayana dan Mahabarata, yang kemudian berkembang sesuai “olah pikir” dan “olah rasa” yang dikontemplasikan sesuai dengan hati nurani zaman, perlukah digugat dan dipersoalkan?
Sementara wayang kulit itu sendiri, baik dalam makna substansi maupun bentuk, juga mengalami transformasi, eksplorasi. Paling tidak, sebelum mencapai “klimaks” format, seperti yang diyakini dalam seni wayang klasik dewasa ini. Semacam alat untuk mengekspresikan kontemplasinya tentang situasi yang lagi hangat. Yang sedang menjadi isu pembicaraan masyarakat ramai. Tanpa kehilangan rasa humor dan banyolan “berkelas”-nya.
Ki Manteb, dengan kepiawaiannya mengolah psikologi optis penontonnya, tetap tampil dengan pesona tersendiri. Begitu juga “barisan” Ki Dalang lain. Ini menjadi menarik. Demokratisasi dalam penawaran konsep, terasa berkembang. Bukankah dengan demikian wayang kulit, menjadi semakin kaya?
Pertanyaannya, tanpa harus primodial oriented, bagaimana kalau wayang diangkat ke layar kaca sebagai salah satu menu penting dalam tayangan televisi? Mungkinkah ia memperoleh hak tayang seperti film lepas, dengan durasi tayang 96 menit setelah dipotong commercial time? Lalu ditampilkan dengan semangat “imbauan” seperti halnya “kewajiban” menayangkan film nasional?
Para dalang, dengan strategi pakeliran padat dan efisiensi komunikasi atau dengan bantuan editing yang ketat, mencoba memanfaatkan waktu yang tergolong pendek itu untuk “berkarya” di layar kaca sememikat mungkin. Bahasa, mengapa tidak tetap menggunakan bahasa Jawa dengan teks terjemahan? Supaya tidak kehilangan rasa yang amat mendalam dan sulit dipisahkan dari kesenian wayang itu sendiri.
Bila merujuk pada perkembangan “seni” wayang yang juga menapak ke animasi Burisrawa, misalnya dan konsepnya tergolong enggan mengolah pakem yang telah baku tetap saja terasa upaya memediakan wayang lewat jalur animasi dan akhirnya layar televisi, berguna untuk mencari efek komunikasi yang lebih luas.***
No comments:
Post a Comment