Sunday, October 5, 2014

Apa Iya, Profesi Lucu, Makin Laku?


Oleh Odios Arminto

Mungkin anda setuju, mungkin juga tidak. Tidak apa. Profesi lucu, itu tergolong istimewa dan pastinya agak langka. Karena itu wajar kalau jumlahnya juga tidak banyak amat. Sebutlah misalnya badut, pelawak atau comic, kartunis, penulis gag, sineas film lucu, pencipta lagu kocak, pencipta tari jenaka, pembicara humoris, pemain pantomime, pegrafis meme, dan mungkin masih ada beberapa yang belum tersebutkan.


Mereka pada umumnya memiliki kemampuan khusus yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Khususnya dalam hal menyajikan realitas sehari-hari lewat sudut pandang yang berbeda dan mungkin baru (mengejutkan) bagi masyarakat pada umumnya.

Topik kali ini, saya ingin sejenak menyoroti fenomena kartunis. Kalau anda pernah mendengar ada nama Pakarti (Persatuan Kartunis Indonesia), di sana konon dimaksudkan sebagai kumpulannya para kartunis. Tetapi jangan lupa, kartunis yang tidak bergabung di kelompok Pakarti juga masih banyak sekali. Bahkan sebelum ada Pakarti, telah ada beberapa nama paguyuban yang secara alamiah telah membentuk komunitas untuk para kartunis sendiri. Semua akan dijelaskan di bawah nanti.
Kartunis adalah profesi yang aktivitasnya menggambar adegan dengan corak gambar yang khas (kartunal atau karikatural) yang selain berisi pesan (kritik atau sentilan) juga mengandung lelucon secara tersirat atau tersurat.

Baiklah, pembicaraan awal kita tentang kartunis, ini dulu. Munculnya barisan kartunis Indonesia pada dua atau tiga dekade ini, boleh dikatakan pertanda munculnya fenomena tersendiri dalam dunia humor. Bisa dibayangkan, sampai detik ini, tak kurang dari 300 kartunis memenuhi jumlah barisan itu. Belum lagi ratusan lain yang masih dalam taraf mengaku-aku “kartunis”. Soal di kemudian hari gejala ini dapat menjadi aset nasional atau tidak, jelas itu bagian dari “strategi global” para arsitek dan pemikir kartun di bumi nusantara ini. Sanggupkah mereka menjaga konsistensi “perjuangan” mereka dalam mengangkat harkat “profesi lucu” itu di negerinya sendiri. Atau justru sebaliknya? Soalnya dibutuhkan semangat tempur yang tinggi dari para kartunis dalam menembus barikade hambatan dan kesulitan.

Bisa dipastikan, anda pasti berkomentar, “Ah, soal kartunis dan kartun saja kok pakai arsitek dan pemikir segala. Kerjaan begitu, biasanya untuk urusan-urusan besar dan serius.” Anda tidak salah. Tetapi fakta yang sama sekali bukan mau melucu. Munculnya barisan dan “gerakan’ yang begitu menggebu, bukan tak ada udang di balik honor-honor kartun yang mereka terima dari penerbit. Semua itu ada penggeraknya. Ada motor, ada motivatornya. Lalu selanjutnya kita sebut saja: arsitek dan pemikir kartun. Ceila! Keren bener memang, nggak apa-apa, sesekali kerja keras mereka kita hargai. Karena mereka, sedikitnya adalah “bidan-bidan” fenomena. Dokter-dokter rohani yang melahirkan kartunis-kartunis muda. Mengapa kartunis muda? Ini ada ceritanya.

Gara-gara masyarakat sudah terlanjur tahu, setiap kali menyebut kartunis Indonesia, ingatan mereka selalu ke nama-nama berikut ini: GM Sudarta, Pramono, Dwi Koendoro, T. Sutanto, Thomas Lionar (almarhum), Priyanto S (almarhum), Sijon, Non-O, Johny Hidayat, dan puluhan nama lain, yang rata-rata memiliki media untuk ekspresi. Sebenarnya ini tidak salah. Mungkin hanya perkara jenjang kualifikasi. Mungkin pula jenjang peluang lebih dulu mereka miliki. Tetapi bahwa kartunis Indonesia kemudian lalu membengkak menjadi barisan profesi “lucu” yang hingga kini belum terasa akrab bagi petugas KTP atau kartu identitas lain, memang tak boleh dilewatkan begitu saja. Soalnya banyak apa-apanya di balik semua itu.

Apa-apa yang dimaksud pada alinea di atas, mungkin tidak berarti apa-apa bagi Anda, tetapi jelas penting sekali artinya bagi para kartunis. Terutama kartunis yang tidak mendapat gajian secara ajeg dari koran atau majalah yang sering menolak kartun mereka. Asumsi ini tidak selalu bisa dibenarkan, tetapi tidak bijaksana juga kalau buru-buru disalahkan. Pokoknya mereka, kartunis-kartunis lepas itu, selalu gelisah kalau kartunnya tidak dimuat media yang mereka kirimi. Ada sebagian yang bertanya-tanya. Sebagian lagi menjawab-jawab. Sebagian lagi bertanya-tanya lagi. Sebagian lainnya lagi, menjawab-jawab lagi. Pokoknya begitu terus-menerus.

Nah, daripada gendheng karena tidak juga mendapatkan jawaban atas masalah yang terjadi, maka mereka mengadakan acara kumpul-kumpul. Lalu berembug. Malah kadang ngibul segala, dengan bikin asumsi, bahwa otorita redaksi penjaga gawang kartun harus digugat! Soalnya banyak yang tidak up to date. Banyak yang ngawur and his gang, banyak yang main koncoisme. Pendek kata panjang kalimat, mereka kurang bisa terima komunikasi searah macam itu.

Begitulah, komunikasi dua arah pun ditempuh, dengan cara mendatangkan para redaktur ke kelompok atau panitia yang mengadakan acara pertemuan dan perpisahan macam itu. Seusai mendengar semua keluhan dan gugatan para kartunis lepas, gantian para redaktur yang mengeluh kepada mereka. Mereka itu, para redaktur, ternyata cuma salah satu bagian dari komponen perusahaan yang namanya pers. Yang organisasinya cukup rumit. Yang penyelenggaraannya butuh dana luar biasa besar. Yang untuk memenuhi semua itu diperlukan masukan dana yang besar pula. Maka bila sang redaktur ini harus berurusan dengan masalah yang namanya iklan, maka soal kartun, jadi terasa sangat kecil nilainya. Apalagi jika fungsi kartun di media itu sekadar sebagai stopper atau pengisi halaman kosong! Redaktur itu pun dengan penuh perasaan kekerabatan mengharap para kartunis, bila kartunnya tidak dapat dimuat sekaligus banyak dalam setiap penerbitannya, bisa maklum dikulum.

Bisakah para kartunis memahami itu? Tak penting untuk dijawab. Fakta ternyata membuktikan, banyak media tetap memajang kartun di sela-sela halaman medianya. Banyak kartunis tak henti berkarya. Lebih menggembirakan lagi, para kartunis profesional tak pernah sibuk memperuncing masalah seperti itu. Yang penting mereka berkarya, lalu mengirimkannya ke media yang dikehendaki. Mereka berkeyakinan, selama kartun-kartunnya digarap dengan perfect, ide-idenya selalu lucu, baru, dan menggoda, ditambah kepercayaan kepada redaksi, maka urusannya jadi terasa gamblang. Untuk memuat atau tidak memuat kartun di medianya, redaksi toh memiliki kriteria dan norma-norma tersendiri.

Memang belum banyak kartunis mampu melihat peluang yang begitu luas membentang. Mengirim satu, ke satu media, ditunggu sampai sewindu. Padahal kartunis lain, justru disibukkan oleh keasyikkannya bertanya pada diri sendiri tentang ide-ide baru yang terus menantangnya. Tak pernah berhenti, setiap harinya.

Pakyo Terkatung-katung Setelah Main Secac
Mungkin aneh tapi jangan kagetlah. Sub judul di atas sengaja dibuat begitu. Ada alasannya. Kalau mau tahu, ya diurutkan terus saja dari huruf ke huruf. Pasti nanti tahu sendiri. Oke? Kembali ke topic di atas, mari kita lihat masalah yang ada. Singkat cerita setelah adanya peristiwa pertemuan kartunis dan redaktur kartun lalu timbul banyak keinginan. Seperti keinginan perlunya ada orang yang mau memikirkan nasib dan kelanjutan masa depan kartun dan kartunis Indonesia.

Alhamdulillah, meski tanpa honor, ada juga orang yang rela terjun ke sana. Yang pintar nulis, tak jera membuat resensi. Yang pintar bikin berita, tak jera mengekspos aktivitas mereka. Yang pintar bikin strategi, sibuk mencari-cari peluang, bagaimana mengangkat pamor kartun setingkat dengan seni yang lain. Yang pintar berorganisasi, lalu sibuk mencari calon anggota, soalnya dia pasti minat sebagai ketuanya.

Begitulah! Memang bukan kerja sehari, pamor kartun bisa “seksi” seperti saat ini. Banyak hal dilakukan oleh orang-orang yang selama ini lebih suka ngumpet di balik layar. Siapa mereka? Selain para arsitek dan pemikir kartun itu sendiri, tidak dapat dilupakan peran para redaktur humor, manajer promosi yang mau kerja sama dalam berbagai event yang ada kaitannya dengan kartun dan kartunis. Juga pihak berwajib yang mau memberi izin saat event diselenggarakan. Tak terkecuali, masyarakat yang mau mengapresiasi dan menggemari. Tanpa itu semua, apa artinya?

Itulah, bagian jalan masuk dan keluar dari persoalan. Buntutnya para kartunis dapat berkarya secara tenang. Mereka pun tak selalu harus tergantung pada media massa. Karena mimbar untuk ekspresi tersedia begitu melimpah. Dari pameran, lomba-lomba hingga tempat bursa seperti “Kedai Senyum” Ancol, bahkan kini begitu meluber portal-portal yang menyediakan jasa menggambar kartun di dunia maya.

Sekarang ini, sketsa karikatural wajah yang dibingkai rapi, bisa laku sampai ratusan ribu. Untuk gambar yang tergolong paripurna dan berwarna bisa sampai jutaan rupiah. Tentu harus digarap dengan bagus dan benar. Memenuhi kaidah-kaidah seni rupa dan rupa-rupa seni. Jadi para kartunis, tidak selalu harus menunggu kartunnya dimuat, baru mendapat honorarium. Bisa saja mereka jadi guru les kartun, yang sekarang peminatnya melimpah. Bisa pula menerbitkan kartunnya sendiri menjadi buku, lalu dijual sendiri, dengan risiko bangkrut. Pokoknya “berwirakartun” sebuah lahan yang penuh tantangan dan harapan.

Tidak salah menyebut, kartunis itu takut sendirian. Soalnya inginnya selalu berkelompok. Ini benar, dan bukan sesuatu yang memalukan. Bukankah bersatu itu teguh dan bercerai tidak disukai Tuhan? Nah, setelah Indonesia punya nenek organisasi humor yang namanya LHI (Lembaga Humor Indonesia), maka tumbuh embrio menarik di Yogyakarta. Tepatnya tahun tidak penting, tapi jelas di sekitar tahun 80-an. Waktu itu dramawan Azwar AN, bersama teman-temannya di Yogyakarta ingin membuat cabang LHI di kota Gudeg itu. Embrio ini tumbuh jadi janin, dan ketika lahir, ternyata justru bernama Pakyo. Aneh ya, bayi kok langsung dipanggil Pak! Ternyata Pakyo singkatan dari Paguyuban Kartunis Yogyakarta. Ini terjadi setelah Teguh Budiarto (Hugo), Gunawan R, dan lain-lain kartunis Yogyakarta lebih melihat prospek yang bisa langsung menjawab kebutuhan. Mereka lebih suka jadi pohon kartun daripada cabang humor.

Tidak lama kemudian, awal 80-an, di Semarang muncul berita “celaka”. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan Jaya Suprana. Ia bersama Drs. Ismawan DS, Ananto SH (almarhum), dan rombongan peminat lain membuat Pertamor (Perhimpunan Pencinta Humor). Gebrakannya pun sudah disiapkan, nanggap Arwah Setiawan, Permadi SH, Mr. David Andersen, Romo Mangun, dan lain-lain agar mau bicara soal humor. Minggu ini, sebuah media mingguan yang selama terbitnya sepi dari kartun pun langsung banyak menyediakan ruang kartun. Pokoknya Semarang mendadak girang! Jelas gara-garanya ada oom humor dan tante kartun!

Tak jauh dari Semarang, di Kaliwungu, Darminto M Sudarmo (Odios) dan Boedy Santosa (Itos) nekad membuat kelompok kartunis, yakni pada tahun yang sama cuma lain bulan. Tanpa upacara, tanpa selamatan, langsung didirikanlah Kokkang (1981). Singkatan dari Kelompok Kartunis Kaliwungu. Anggota dan pengurusnya cuma dua orang. Bikin pameran di kota kecil Kaliwungu pun juga dua orang. Jaya Suprana yang waktu itu sedang ada acara di Singapura, demi kartun rela pulang untuk hadir di pameran di kota yang tak terdapat dalam peta nasional itu.

Nasib baik rupanya ada juga. Gebrakan sederhana itu, mampu mengundang peminat jadi anggota, yang kesemuanya muda-muda dan banyak yang masih anak-anak. Tidak terlalu makan waktu lama lahirlah kartunis berbakat. Terdapat nama-nama seperti: M Nasir (tabloid BOLa), M Najib, Wawan Bastian, Hertanto Soebijoto (kini staf redaksi kompas.com), Muchid, Muslih (pimpinan cabang BRI Kaliwungu), Ifoed (kartunis Indopos), Totok, Didik, Asbahar, dan lain-lain. Satu hal yang layak dicatat, acapkali di antara para kartunis itu ternyata satu keluarga. Kakak beradik. Bahkan pada saat ada lomba atau acara berkarya rutin, mereka berkumpul mengartun bersama-sama. Boleh dikata, hampir tiap RT-RK, ada kartunis yang sibuk mengartun. Fenomena ini hanya ada di Kokkang.
Juga dalam waktu tidak begitu lama, muncul di Semarang organisasi kartunis. Motornya Yehana SR, didampingi Goenawan Pranyoto (almarhum) dan Hoessie. Mereka mendirikan Secac. Sengaja namanya aneh, kepanjangannya pun genit – Semarang Cartoons Club – Tidak boleh protes! Masa kumpulan kartun Semarang? Memang ini ciri kartunis, apologinya pun pakai humor. Secac bekerja sama dengan Pertamor dan lain-lain, banyak sekali menyelenggarakan pameran kartun nasional di Semarang. Di kemudian hari, lahir nama-nama seperti: Ramli Badrudin, Nunk (Hanung Kuncoro – tabloid BOLA), Dinz Romero, Jitet Koestana (kartunis Harian KOMPAS), Goen (kartunis Suara Merdeka), Hoessie (kartunis Harian Wawasan), Lukis Haryadi, Prie GS (motivator humoris), dan banyak sekali kartunis lain, yang kebetulan pengin sembunyi dulu. Juga di Semarang, kendati akhirnya sepi berita, pernah lahir Wak Semar. Kepanjangannya Wadah Kartunis Semarang dan Kawan (Kartunis Wanita).

Entah karena budaya berkelompok itu enak atau tampak keren, akhirnya tanpa dikomando, bermunculanlah nama-nama kelompok kartunis baru. Bukan saja di Jawa, tetapi juga luar Jawa. Ada Terkatung singkatan dari Terminal Kartunis Ungaran. Ada Pecahban singkatan dari Pecandu Humor Bandung. Ada Perkara (Perkumpulan Kartunis Rawamangun), Senja (Seniman Jakarta), Sekarat (Sekumpulan Kartunis Tangerang), Karung (Kartunis Bandung), Kelakar (Kelompok Kartunis Purwokerto), Kasur (Kartunis Surabaya), Pakarso (Paguyuban Kartunis Solo), Kocak (Kelompok Pencinta Kartun) di Gombong. Ikan Asin (Ikatan Kartunis Banjarmasin), Kalem (Kartunis SMA Delapan Enam, Jakarta), dan masih banyak lagi yang pasti lucu dan lugu.

Untuk tidak membingungkan masyarakat dan memasyarakatkan kebingungan, kelompok-kelompok itu memang tetap diharapkan tumbuh sebagaimana fungsi “sanggar seni” lainnya. Akhirnya setelah didirikan Pakarti, ada sebagian yang masih berkembang natural dalam format paguyuban seperti Kokkang dan Pakarso, yang secara de facto, saat ini masih eksis dan beraktivitas. Sementara yang lain mungkin juga tetap beraktivitas, hanya tidak memberi kabar atau posting di facebook. Tak apa, sebagai jam atau arloji, yang penting tetap berputar dan menjadi pemandu waktu bagi masyarakat yang membutuhkan jasanya.***

No comments:

Post a Comment