Thursday, October 2, 2014
Mari Melek Sejarah Perlawakan Kita Sendiri
Oleh Odios Arminto
Sejarah literatur perlawakan Indonesia memang gelap. Beda dengan seni sastra, lukis, suara dan seni-seni elitis lainnya. Di masa lalu, seni berbasis humor atau lelucon, domainnya rakyat jelata. Para abdi atawa punakawan. Para bendara atau kaum priyayi umumnya, harus jaim. Tampil angker supaya berwibawa. Tidak berwibawa, uang kembali; eh, pamor sosialnya langsung jatuh.
Di masa kini, memang ada sedikit kemajuan. Ada apresiasi. Entah itu karena pelawak dihargai mahal atau masyarakat telah menyadari apa manfaat humor bagi kehidupan sehari-hari. Yang jelas, di berbagai Negara maju, seni berbasis humor menjadi primadona dan mendapatkan perhatian istimewa. Banyak pihak – multidisplin ilmu, multiprofesi – tertarik menggali dan mencoba menguak manfaat yang ada di baliknya.
Puncak-puncak kronologi seni lawak Indonesia ini hanya salah satu versi untuk mencatat jejak-jejak penting yang pernah terjadi agar sebagai bangsa kita tidak buta sejarah. Dengan demikian kita tidak tergagap-gagap atau gampang kagetan ketika merespon datangnya bebagai seni lawak yang berasal dari luar. Sebutlah stand up comedy, misalnya. Ia mungkin dianggap “barang” baru, tapi apa iya? Apa kita tak punya jejak terkait dengan seni sejenis itu? Mari melek sejarah perlawakan kita sendiri.
Tersebutlah nama Cak Markeso. Seniman ludruk tunggal dan garingan (tanpa iringan musik) yang merintis karier sejak zaman kolonial, sekitar tahun 1949. Sebelumnya ia pernah tergabung dalam sebuah grup yang bernama “Ludruk Cinta Massa“. Karena suatu alasan, ia memilih keluar dari grup tersebut dan bersolo karier.
Ia kemudian mengamen dari kampung ke kampung di Surabaya. Bermonolog membawakan salah satu cerita bila ada warga yang nanggap. Ia juga punya kemampuan untuk mengiringi cerita dengan musik dari mulutnya sendiri. Cak Markeso tercatat dalam sejarah seni ludruk karena celetukan-celetukannya sangat khas dan piawai dalam memancing imajinasi penonton.
Agak melompati waktu. Bentuk pertunjukan lawak tunggal sejenis stand up comedy juga pernah ada di TVRI (antara tahun 1970 – 1980-an) dan cukup boom serta digemari masyarakat. Tercatat misalnya nama pelawak Arbain, dengan logat Tegal-nya yang kental ia sanggup membuat penonton tergelak-gelak karena joke-joke yang dilempar sangat mengena dan tepat sasaran; apalagi ia juga mempunyai keterampilan sulap yang memadai, sehingga acaranya di TVRI bertahan cukup lama.
Sementara itu, meskipun tidak rutin, seniman serba bisa Kris Biantoro, pernah membawakan “stand up comedy” di TVRI dengan sangat genuin dan prima, bahkan belum tertandingi bila dibanding produk pertunjukan sejenis hingga saat ini.
Secara parodis ia pernah tampil sendiri membawakan figur-figur terkenal waktu itu lengkap dengan gaya busana, tata rias wajah dan aksen bicara, sebagian di antaranya wanita; bergantian secara cepat. Bukan hanya gagasan fisik yang dia garap, tetapi juga kedalaman materi yang dapat menimbulkan efek tawa; semua terjaga, elegan dan berkualitas.
Dagelan Mataram misalnya, memulai acaranya dengan memunculkan seorang pelawak yang bermonolog; sebut saja misalnya Basiyo atau Junaedi; setelah ger-geran antara lima hingga 10 menit, barulah format kelompok beraksi.
Di pertunjukan ketoprak, ludruk, seni pertunjukan rakyat lain, juga punya kecenderungan yang sama. Pada segmen dagelan, seorang pelawak membuka komunikasi beberapa saat dengan penonton, kemudian disusul interaksi dengan pelawak atau pemain lain.
Kilmaksnya, bila kita renungkan lebih mendalam, apa yang dilakukan ki dalang (baik wayang kulit maupun golek) nyaris punya kesamaan pola; ki dalang adalah seorang player yang jenis pertunjukannya berada dalam disiplin atau genre seni yang tak jauh dari tradisi stand up comedy. Individu menjadi pusat seluruh aliran pertunjukan.
Secara bergurau, mungkin lebih tepat disebut sit up comedy, karena ki dalang secara teknis melakukan pertunjukan sambil duduk.Tantangan membawakan karakter, aksen dan jenis suara yang berbeda-beda untuk tokoh yang berbeda-beda, jelas jauh lebih sulit daripada stand up comedy biasa.
Kembali ke sejarah lawak nasional
Terdapatlah nama yang tak asing lagi bagi kita semua, Srimulat. Grup ini pertama-tama didirikan oleh RA Srimulat dan Teguh Raharjo pada tahun 1950 dengan nama Gema Malam Srimulat . Pada awalnya Gema Malam Srimulat adalah kelompok seni keliling yang melakukan pentas dari satu kota ke kota lain dari Jawa Timur sampai Jawa Tengah.
Srimulat menyajikan style pertunjukannya secara khas. Ada berlapis-lapis segmen. Musik, tari dan lawak. Segmen lawak ini makin mengerucut dan menajam, sejak grup ini rutin tampil di TVRI tahun-tahun 1980-an. Hal yang sama terulang ketika tahun 1990-an tampil di Indosiar. Yang menarik dari grup ini untuk dicatat adalah Srimulat-lah peletak dasar pertunjukan lawak tradisional. Fakta itu sulit terbantahkan karena migrasi dari pola pertunjukan opera musik, tari dan lain-lain yang kolosal dan megah ke hanya satu yang compact tapi fungsional: lawak, dilakukan secara transformative dan smooth. Tidak ada kudeta atau paksa-paksaan. Natural.
Nah, ada grup lawak berikutnya yang tak kalah unik dan top, yaitu Trio Los Gilos. Anggotanya Mang Udel, Mang Cepot dan Bing Slamet. Dibentuk tahun 1958 dan lebih praktis lagi, karena langsung mengacu ke pertunjukan lawak an sich, sangat berkemungkinan menjadi model rujukan bagi grup lawak generasi berikutnya.
Trio Los Gilos juga punya keunikan lain. Dia terlahir terlalu cepat mendahului zaman. Bayangkan, pada zaman dan tahun itu, pola lawakannya sudah sangat modern, berbasis naskah atau skenario. Benar-benar sebuah naskah yang sudah bunyi. Sudah terbaca kekuatan kelucuannya dari hanya melihat teks saja, apalagi kalau naskah itu dimainkan.
Fakta ini sangat kontras, di masa kini saja, tak banyak grup lawak atau pelawak yang mendasarkan tampilnya dengan mengacu pada konsep teks, kecuali di pertunjukan TV atau stand up comedy. Secara umum, pelawak lebih merasa nyaman dengan mengandalkan spontanitasnya. Bayangkan, pada tahun awal pertumbuhan lawak yang masih begitu belia, Trio Los Gilos telah mendisiplinkan dalam format yang begitu maju dan terlalu cepat mendahului zamannya. Mungkinkah format demikian karena pengaruh dari luar? Siapa dapat menafikan peran The Three Stooges, Abbott – Costello, Laurel – Hardy, Charlie Chaplin dan lain-lainnya? Grup-atau lawak perorangan dari luar ini mengalami masa jayanya di tahun-tahun 1930-an. Termasuk masa-masa jayanya trend lawak kasar dan banal, merusak property dan adegan ancur-ancuran yang efektif memancing tawa pada masanya.
Terakhir fenomena Bing Slamet. Tokoh multitalenta ini memang tiada duanya. Sebagai pelawak, ia menjadi model sepanjang masa bagi generasi penerusnya, khususnya dalam soal keterampilan berspontanitas. Karena potensi dalam hal itu sangat besar, maka Bing tak kuat bertahan di Trio Los Gilos. Ia keluar dari grup itu dan memilih bersolo karier.
Bing merajai dan memesona penggemarnya bukan hanya di dunia lawak. Di seni suara, film komedi dan seni perform lainnya. Oleh karena itu ia selalu menyebut dirinya seorang entertainer. Bing benar-benar seniman langka, entah berapa puluh tahun lagi negeri ini memiliki seniman dengan kompetensi raksasa semacam dia.
Moral kronologi ini, hanya ingin mengingatkan kepada seluruh penggemar lawak atau bahkan para pelawak itu sendiri, tak perlu saling klaim siapa yang paling dulu “berjasa” memperkenalkan seni lawak ini, seni lawak itu, apalagi lalu menganggap diri sendiri sebagai legenda demi pencitraan atau pengakuan atau apalah namanya. Kharisma sesungguhnya adalah pengakuan tulus yang datang dari pihak lain. Bukan dari diri sendiri atau kelompoknya. Dan sejujurnya…seperti kata pepatah, tak ada yang baru di bawah matahari. Peace!
Catatan:
Pelawak perorangan atau grup sesudah periode tersebut adalah pelanjut tradisi dari yang tersebut di atas dan itu tak mengurangi eksistensi maupun kehormatannya, karena sebaik-baiknya pelawak adalah pelawak yang telah mendedikasikan hidup dan kehidupannya demi kebajikan seni lawak dan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat secara umum.
Odios Arminto adalah kartunis, humoris dan penulis.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment