Kartun: Non-O |
Oleh Odios Arminto
Dua kisah berikut ini, yang pertama bercerita tentang keraguan dan keserakahan. Yang kedua, tentang kejujuran dan ketidakjujuran. Kalau anda cermati, pesan penting yang tertuang dalam kisah-kisah tersebut seakan tidak istimewa amat, tetapi bila direnungkan secara mendalam, kisah-kisah berikut sungguh memuat makna yang demikian mengena. Setidaknya bagi kita yang mau peduli dan menghargai moral politik yang belum lama sempat mengharu-biru dan mengaduk-aduk perasaan rakyat seluruh negeri ini.
The Story about An Unlucky Mosque Official
Pembaca
mungkin heran dan bertanya-tanya, ah apa istimewanya kisah yang
berjudul aneh begitu? Rasanya baru kali ini mendengar ada judul cerita
seperti itu. Sabar dulu, cerita berjudul seperti di atas memang hanya
terdapat dalam khazanah kesustraan kuno banget. Dalam bahasa modern
dinamakan “Kisah tentang Lebai yang Malang”. Atau “Lebai Malang”. Lebai
dalam kisah ini, bukan berarti berlebihan seperti anak-anak Alay
mengartikannya, tetapi seseorang yang bertugas membacakan doa atau
memimpin doa pada saat ada kenduri atau selamatan.
Kata sahibul hikayat, tersebutlah seorang lebai yang tinggal di tepi sebuah danau. Pada suatu hari (nah, ini introduction yang very-very
klise) yang benar-benar satu hari, secara bergantian orang-orang dari
tepi danau lain (dari sebelah utara, selatan, barat dan timur)
bergantian datang meminta padanya untuk memimpin doa dalam sebuah
kenduri yang waktunya kebetulan sama persis, pukul delapan malam.
Sebagai
orang yang “bijaksana” dan berpikiran panjang, sang lebai tidak
mengiyakan atau menolak permintaan para warga itu. Ia hanya menjawab
dengan kalimat normatif dengan bahasa yang lazim diucapkan oleh
warga-warga di sekitar danau. Dalam bahasa masyarakat sekarang kurang
lebih hampir mirip dengan kalimat, “Bila Tuhan mengizinkan”.
Tepat
pukul tujuh malam, sang lebai sudah berada di atas perahunya. Persis di
tengah-tengah hamparan air danau. Begitu berada di posisi yang sangat
strategis itu, sang lebai tiba-tiba agak ragu sejenak, tiba-tiba muncul
pertimbangan-pertimbangan dari dalam hatinya.
“Kalau
aku menuju tepi danau sebelah utara, apa mungkin ya pemikiranku tepat?
Kudengar masyarakat di situ, kehidupan sehari-harinya serba sederhana
dan jarang berpesta. Acara kenduri, juga bukan acara yang istimewa,
paling masakan yang mereka buat tetap saja seperti yang dulu: pepes ikan
air tawar dan nasi putih…yah, rasanya kurang ada kejutan deh…”
Sang
lebai juga menimbang-nimbang masyarakat yang tinggal di tepi danau
sebelah selatan, timur dan barat. Dengan pertimbangan dan perhitungan
berdasarkan pengalaman yang dulu-dulu.
Tak
terasa, waktu pun berlalu, tiba-tiba dari tepi danau, terdengar bunyi
kenthongan 12 kali. Itu artinya sudah pukul 12 malam, dan sang lebai
baru menyadari kalau ia masih berada di tengah hamparan air danau yang
sunyi dan seorang diri.
Tidak
utara, tidak selatan; tidak timur, tidak barat. Ia tidak mendapatkan
apa-apa. Tidak materi, tidak juga kehormatan. Sungguh, ia memang lebai
yang benar-benar malang….
Kisah Tukang Kayu dan Kapak Emas
Ini
juga kisah jadul. Tentang seorang tukang kayu yang jujur dan berhati
tulus. Suatu hari ia menebang pohon di sebuah hutan di pinggir kali yang
airnya mengalir deras. Tak terduga, ketika sedang asyiknya menebang,
kapak yang dia pegang lepas dan melesat jatuh ke dalam sungai. Ia
termangu-mangu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Mau turun ke sungai,
sungguh tak mungkin, selain ia tak tahu di mana letak persisnya, saat
itu airnya sedang mengalir sangat deras dan ia tak bisa berenang.
Akhirnya
ia hanya duduk-duduk di tepi sungai dan tak tahu harus melakukan apa.
Tiba-tiba seekor ikan besar (dipercaya masyarakat setempat sebagai dewa
ikan) yang bisa bicara muncul sambil membawa 10 kapak yang bentuknya
bagus dan tajam. Ikan itu bertanya, apakah kapak-kapak itu miliknya yang
telah jatuh ke sungai. Tukang kayu itu dengan seksama mencermati
kapak-kapak yang ditunjukkan dewa ikan, setelah merasa tidak satu kapak
pun yang mirip dengan miliknya, dengan sopan ia menjawab, “Bukan. Itu
semua bukan kapak saya.”
Dewa
ikan masuk ke dalam air dan muncul lagi sambil menunjukkan kapak bersih
mengkilat, terbuat dari kuningan. Tukang kayu tetap menolak, karena
bukan miliknya. Dewa ikan masuk ke dalam air lagi lalu menunjukkan kapak
yang terbuat dari perak, tetap ditolak oleh tukang kayu. Dewa ikan
masuk lagi, kali ini menunjukkan kapak yang terbuat dari emas. Tukang
kayu tetap menolaknya.
Dewa
ikan terkesan dengan tukang kayu yang jujur dan tulus itu. Ia pun
memberikan hadiah kapak emas itu dan menyerahkan kapak asli milik tukang
kayu.
Setelah
pulang ke rumah, orang-orang sekampungnya pun menyambut dengan suka
cita. Atas permintaan masyarakat setempat, ia pun menceritakan
pengalaman yang dialaminya apa adanya.
Salah
seorang warga kampung, diam-diam meniru apa yang dilakukan tukang kayu
jujur itu. Ia pun mengalami persis peristiwa yang dialami tukang kayu
sebelumnya. Hanya saja, ketika dewa ikan itu muncul membawa kapak emas
dan menanyakan padanya apakah kapak itu miliknya, ia dengan tak sabar
menyahut, “Betul, betul itu kapak milik saya….”
Pembaca
yang terhormat, anda semua pasti sudah mengetahui bagaimana akhir
cerita dari kisah ini, bukan? Sebuah drama yang berakhir demikian khas,
karena kejujuran dan ketulusan dipertaruhkan di waktu dan tempat yang
tidak tepat.
No comments:
Post a Comment