Saturday, October 4, 2014

“MANG UDEL” PURNOMO LOLOS KE “TRIO LOS GILOS”


Oleh Arwah Setiawan

SEBAGAIMANA Danny Kaye atau Bob Hope, maupun semua pelawak lainnya, Drs Purnomo atau “Mang Udel” atau “Mas Pung” sudah pernah dilahirkan. “Menurut ibu, beliau ingat benar saya lahir pada hari Kamis Legi, 7 Oktober. Padahal? Oktober Kamis Legi tahun 1923 itu tidak ada, yang ada tahun 1922. Jadi sebetulnya, di KTP saya setahun lebih muda dari yang sebenarnya.” Mengapa begitu? Ya embuh, wong kawit biyen, zaman Belanda sudah didaftar tahun 1923. Nggak tahu kesalahan siapa.”


Pertama kali Purnomo tampil di atas panggung dengan maksud membawakan komedi atau lawakan, dalam arti menyindir, memparodi, mengungkapkan anekdot, adalah pada waktu perpisahan pada masa akhir penjajahan Jepang. Di panggung ia tampil sambil memperkenalkan/comedy act – ia memerankan orang kuntet dengan mengenakan sarung setinggi dada dan bergerak dengan lutut terlipat.

Adegan itu agaknya cukup sukses, penonton yang Jepang pun tertawa. Dan ketika bertahun-tahun kemudian “Trio Los Gilos” terbentuk, trick berjalan seperti orang kuntet ini pun “diajarkannya’ kepada Bing Slamet (almarhum). Tapi penggabungan dengan Bing Slamet pada 1953 ini bukan pengalaman pertama Purnomo pada profesi juru lucu.

Sesudah Proklamasi, radio Jepang dijadikan RRI dan diambil alih pimpinannya oleh Jusuf Ronodipuro. Pada waktu itulah – tahun 1946 – Purnomo diminta mengisi acara di RRI bersama AK Hardjodipuro (almarhum) yang kadang juga menyandang nama Arkahadi, memakai nama Cepot, dan Purnomo berperan sebagai Udel.

Sejak itulah, julukan “Mang Udel” menjadi sebuah alias yang paling lengket pada Purnomo, sekalipun generasi terbaru kini mungkin lebih mengenalnya sebagai “Pak Broto”. RRI pun sejak zaman awalnya sudah mempunyai pasangan “jenakawan”-nya, yang salah satunya adalah Mang Udel Punomo.

Trio Los Gilos baru terbentuk pada tahun 1953 (nah, versi lain ada yang nyebut th 1958, keknya ini yang benar – odios), ketika Bing Slamet bergabung dengan duet Hardjodipuro dan Purnomo. Saat itu Purnomo melihat ada orang yang lucu, pendek, mengapa tidak diajak bergabung saja? Sebelum itu Bing slamet memang sudah dikenal sebagai penyanyi bersuara bariton berat, seolah Bing Crosby edisi Indonesia.

Ketiga mahluk “gilo” itu telah berhasil menanamkan suatu impresi khusus di kalangan tertentu fans lawak Indonesia. Dapat dirasakan bahwa Trio Los Gilos merupakan grup lawak perintis lawak gaya modern, yang lain dari gaya lawak sebelumnya, yang dapat digolongkan lawak “tradisional”. Misalnya “Dagelan Mataram”, lawak-lawak dalam ketoprak, ludruk, bahkan Sri Mulat yang pada tahun-tahun tersebut juga baru muncul “seksi lawak”-nya.

Tak mudah merumuskan perbedaan apa yang kita namakan “lawak modern” dan “lawak tradisional”. Tak mudah dirumuskan, namun tak sulit dirasakan. Salah satu ciri yang membedakannya adalah pemakaian bahasa pengantar dalam lawakan. Kalau lawak tradisional masih didominasi bahasa daerah, lawak modern sudah menggunakan bahasa Indonesia dalam komedinya. Trio Los Gilos pun dengan konsisten selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam komedinya.
Bagi Purnomo, dengan memiliki latar belakang sebagai pemain panggung tentu membantunya untuk lancar menggunakan bahasa kesatuan di atas panggung – ia pernah ikut perkumpulan sandiwara amatir “Maya”, bersama Usmar Ismail, Rosihan Anwar, HB Yassin. Malah pernah memainkan gaya Ibsen, Little Eyeolf, di mana ia di babak pertama main sebagai seorang insinyur muda, sedangkan di babak kedua, dengan ganti rias dan mengubah mimik, menjadi nenek sihir.

Pada Trio Los Gilos, nasionalisme bahasa ini justru diperkaya oleh penguasaan mereka akan bahasa-bahasa asing – Belanda, Inggris, Prancis, dan sebagainya. Penguasaan bahasa asing ini mereka manfaatkan dengan baik di atas panggung. Antara lain dengan pemakaiannya sebagai dialek atau logat-logat dalam mengucapkan bahasa Indonesia.

Tetapi bukan bahasa asing saja yang mereka parodikan, melainkan juga bahasa atau dialek daerah etnis. Trio Los Gilos sama fasihnya bila melawak dalam logat Batak dengan bahasa Prancis, Belanda, Inggris, dan bahasa asing lainnya. Bahkan dialek mahluk “Mars” sekali pun. Sebagaimana yang pernah ditampilkan dalam suatu acara Panggung Gembira RRI Studio Jakarta.

Meski begitu, bahasa hanyalah salah satu faktor yang membedakan Trio Los Gilos dari pelawak-pelawak tradisional. Pernah ada pertanyaan, ciri apa yang paling mencolok untuk membedakan grup lawak Trio Los Gilos dari grup lawak lain? TEKS, jawab Purnomo. Tegas dan jelas jawabannya. Mengapa? Apakah pelawak tidak perlu pakai teks? Harus! Jawab Purnomo lagi, sama tegas dan jelasnya dengan jawaban pertama. “Waktu saya jadi moderator, ketika itu Danny Kaye sedang datang ke mari, dia bilang, dia memiliki penulis naskah atau gag writer. Dan ketika saya dikirim ke Amerika oleh USIS (Pusat Informasi Amerika Serikat) pada tahun 1952, saya juga mengunjungi sebuah gag writers’ office yang anggotanya tiga orang saja. Tugas yang seorang keliling cari bahan, seorang pegang telepon di kantor, dan seorang lagi siap dengan mesin ketik, secara bergiliran. Kalau yang keluar mendapat bahan, langsung telepon ke kantor, langsung diketik. Lalu dijual secara free lance ke pelawak-pelawak yang berminat. Wuah, laku!”

Ada keterpengaruhan atau tidak, beda sistem atau tidak, tapi prinsip dasar yang dipakai Trio Los Gilos adalah sama – menggunakan naskah secara konsisten. Bertiga mengarang bersama-sama. Kalau ide sudah disepakati, yang mengetik menjadi naskah adalah AK Hardjodipuro, yang di atas panggung juga jadi dalangnya. Yang mbanyol Purnomo dan Bing. Dan semua teksnya dimaksudkan untuk dilawakkan sendiri – tidak dijual.

Ketika ditanya, bagaimana kalau ide untuk membuat semacam perusahaan gag-writer diterapkan di negeri kita, Mas Pung hanya menjawab sangsi, “Apa laku?” Memang, menilik tradisi bajak-membajak di bidang apa pun di negeri kita ini, termasuk di bidang lawak, keraguan Purnomo sangat beralasan.

Tapi lepas dari soal bisnis jual-beli, maka seluruh naskah yang pernah dipakai oleh Cepot-Udel dan Trio Los Gilos yang “semuanya ada ratusan, dan mungkin sebagian besar masih di rumah almarhum Hardjodipuro sampai sekarang”, tentulah merupakan gudang harta humor yang sangat menarik bila digali.

Untuk mengintip sekadar kebolehan Trio Los Gilos dalam memelintir saraf gelak pembaca, tahun depan, persis bersamaan menyambut tahun baru, akan kami bentangkan sebuah reportase mereka, yang dapat kami golongkan masterpiece naskah lawak Indonesia. Dan meski subject-matter-nya adalah mengenai permohonan izin menghuni rumah z (mendapat “VB” yang sangat in di tahun 50-an) dari Kantor Urusan Perumahan, tetapi unsur komedisnya tentu akan cukup menohok saraf tawa pembaca zaman kontemporer pun! ***

Arwah Setiawan adalah pendiri dan ketua LHI (Lembaga Humor Indonesia)

No comments:

Post a Comment